Pakar Politik Amerika Serikat (AS), Jerry Massie. Dok: IP

JAKARTA – Buzzer atau pendengung biasanya memainkan isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) saat Pemilu dan Pilkada. Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menyebut keberadaan buzzer hampir sama dengan hacker karena sama-sama menyebarkan sesuatu yang negatif.

“Buzzer kini sengaja dilahirkan untuk membunuh orang-orang yang kritis dan moderat,” kata Jerry saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk ‘BuzzeRp: Gerombolan Bayaran Penghancur Bangsa’, Jumat (23/9/2022).

Jerry menilai keberadaan buzzer bisa merusak demokrasi dan nilai-nilai Pancasila yang sudah ada di Indonesia.

“Bagi saya buzzer ini cara kerjanya mereka menggunakan anonymous. Dan akun-akun ini banyak di media sosial.,” ucap dia.

Dalam kesempatan itu Jerry menyinggung soal politik pencitraan yang menjadi salah satu penyebab munculnya buzzer.

“Memang awalnya buzzer marak di era Pemerintahan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta saat pilkada Jakarta. Era sebelumnya kita tak pernah dengar Buzzer,” ucap Jerry.

Jerry mengungkap, siasat buzzer yakni dengan mengirim ulang satu berita dan tulisan dengan berulang-ulang.

“Dan juga 1 orang punya 10 akun, 10 nomor smart phone. Jadi akun ini bodong atau dikenal dengan nama Annynomous (Any),” jelas Jerry.

Kelompok buzzer ini, kata Jerry, melakukan propaganda dan mengangkat capres yang dibiayai oligarki. Jerry berujar, mereka akan mengangkat brand image capres boneka mereka, seakan-akan dia paling baik.

Walaupun pemerintahan Jokowi standar menurut Jerry dan banyak kebijakan yang tak pro rakyat tapi baik influencer dan buzzer akan memuji setinggi langit.

“Walaupun krisis BBM, minyak goreng tetapi buzzer akan terus memujinya,” ujar Jerry.

Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menyebut buzzer memiliki konotasi negatif berbeda dengan influencer yang memiliki konotasi positif karena mengabarkan sesuatu yang benar.

“Kalau kita pengamat bekerja denganmengamati sesuatu itu namanya pengamatan sesuai fakta dan kita independen. Jadi kritik kebijakan saya di twitter dari hasil analisa. Pengamat tdak bisa dikatakan buzzer. Karena dia membela kebenaran,” jelas Anthony.

Sementara, Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Luhut Binsar Pandjaitan juga di anggap sebagai buzzer karena sebarkan info yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Janji-janji politik pilpres (Pemilihan Presiden) Jokowi yang tidak dipenuhi janji-janjinya,” kata Muslim.