JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan mengkritisi klaim pemerintah mengenai adanya penambahan Kawasan budidaya padi yang meningkat menjadi 3.443.625 Hektar pada tahun 2022 ini.
Menurut Johan, klaim pemerintah ini patut dipertanyakan sebab faktanya produksi gabah kering giling (GKG) dalam tiga tahun terakhir ini fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan.
“Kalau kita buka data BPS tahun 2020 terlihat produksi GKG sebesar 54.649.202 ton dan bandingkan dengan produksi GKG tahun 2021 yang sebesar 54.415.294 ton, ini artinya produksi GKG berkurang sebesar 233.908 ton, ” kata Johan dalam keterangan rilis kepada Indonesiaparlemen di Jakarta, Jumat (19/8/2022)
Politisi PKS ini mengungkapkan bahwa melambatnya laju pertumbuhan produksi gabah secara nasional akibat adanya kompetisi dalam penggunaan lahan dan degradasi sumberdaya pertanian.
Terbatasnya dukungan infrastruktur Pertanian serta tidak adanya terobosan teknologi secara signifikan.
“Saya ingatkan pemerintah bahwa kita jangan hanya terobsesi dengan penambahan luas kawasan budidaya. Namun seringkali mengabaikan perlunya terobosan teknologi baru di bidang produksi serta lemahnya intensifikasi tanaman padi dengan penerapan budidaya alternatif seperti mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara”, ucap Johan.
Johan berharap pemerintah lebih serius meminimalisir laju perubahan penggunaan lahan serta selalu memperhatikan pola kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk padi.
Dia mengatakan jangan hanya mengklaim adanya penambahan Kawasan padi tanpa memperbaiki data perubahan penggunaan lahan padi yang terus terjadi akibat alih fungsi lahan.
“Saya minta pemerintah mengevaluasi keselarasan kesesuaian lahan untuk Kawasan padi pada rencana pola tata ruang agar dapat meningkatkan upaya pengelolaan budidaya padi untuk memperoleh hasil produksi gabah yang lebih optimal”, papar Johan.
Wakil rakyat dari dapil NTB 1 ini menekankan agar pemerintah memberi prioritas pada upaya peningkatan hasil produksi gabah kering giling (GKG) karena hasilnya berdampak langsung terhadap pendapatan petani.
“Kita menjadi prihatin karena saat ini kesejahteraan petani belum menjadi prioritas pemerintah dan pemerintah ternyata hanya sibuk dengan penambahan luas lahan dengan projek food estate, pembukaan lahan sawah baru dan lain-lain namun hasilnya produksi cenderung stagnan bahkan menurun,” jelas Johan.
Dia menegaskan pemerintah harus sadar bahwa saat ini nilai tukar petani (NTP) untuk petani tanaman pangan merupakan yang terendah, data BPS menyebutkan bahwa NTP tahun 2022 ini berada pada titik terendah yakni 95,28 pada Bulan Juli 2022 kemarin.
“NTP di bawah 100 ini maknanya indeks harga yang diterima petani lebih rendah dibandingkan harga yang dibayarkan. Jadi kepada pemerintah agar berhentilah terlalu banyak retorika dan gimmick politik, mari berjuang membela kepentingan petani agar lebih sejahtera,” tutup Johan.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan